Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa Indonesia yang lahir pada 1 Juni 1945 mengalami pasang surut yang luar biasa dalam sistem kurikulum kita. Semenjak kita memasuki Orde Baru pasca 1965, urgensi penyebutan Pancasila secara explisit dalam sistem kurikulum menjadi sangat mutlak. Hal ini terjadi karena sebelum peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965 itu, sebagai titik balik perjalanan sejarah bangsa ini, Pancasila menempati ruang yang penuh dengan wacana dalam sistem politik di negeri ini.
Dalam kurikulum 1964, ( istilah yang dipakai pada waktu itu bukan ”kurikulum” tetapi ”Rencana Pendidikan” ), yang kemudian ditimpali dengan Penetapan Presiden no. 19/1965, pendidikan Pancasila ini bahkan ditafsirkan menurut Manifesto Politik dan USDEK serta ditafsirkan pula menurut ciri-ciri manusia sosialis Indonesia.,yang kedua-duanya merupakan doktrin politik Orde Lama yang terkenal itu. Di bidang pendidikan, doktrin ini ditambah dengan ”Pancawardana” sebagai sub pokok bahasan. Dalam Penpres no. 19/1965 itu bahkan disebutkan bahwa manusia Indonesia Baru yang dibentuk melalui sistem Pendidikan Pancasila harus berjiwa ”nasakom”, singkatan dari akronim ”nasionalis, agama dan komunis”, suatu jargon yang terdengar nyaring pada jaman itu. (Dr. Anwar Jasin M.Ed. ”Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar sejak proklamasi kemerdekaan”, 1987) .
Walaupun kata ”Pancasila” sudah terdapat dalam Rencana Pendidikan tahun 1964 tadi, namun karena secara aksiologis penyusunan kurikulum belum canggih seperti saat ini, maka Pancasila hanya disinggung sepintas lalu sebagai dasar dari sistem pendidikan , dengan menyebutkan bahwa ”…..Dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan Manipol Usdek dengan segala konsekwensi dan implikasinya bagi pendidikan dan kurikulum Sekolah Dasar………”
Dengan lahirnya Orde Baru pasca 1965, maka dalam kurikulum 1968, mulailah tercetak secara explisit kata Pancasila dalam sistem kurikulum kita dengan disebutkannya bahwa Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila terdiri dari mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Bahasa Indonesia dan Pendidikan Olahraga.
Dalam bukunya tersebut diatas, Anwar Jasin mengatakan bahwa
”… Dalam Rencana Pendidikan 1964, pembentukan manusia Pancasila sebagai salah satu fungsi Sekolah Dasar mengacu pada gambaran manusia sosialis Indonesia, dan Pancasila itu sendiri ditafsirkan menurut Manipol/Usdek. Kurikulum 1968 mengacu kepada tujuan pendidikan nasional, yaitu pembentukan manusia Pancasilais sejati, dalam rangka usaha pelaksanaan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Perubahan aksiologis tujuan institusional Sekolah Dasar ini merupakan konsekuensi langsung perubahan politik, dari Orde Lama ke Orde Baru……”
Itulah perjalanan Pendidikan Pancasila dalam sistem kurikulum dari jaman ORLA ke ke ORBA, yang sejak semula memang sudah diwarnai dengan wacana.
Dengan perubahan-2 politik di tanah air, maka tujuan pendidikan nasional dalam sistem pembentukan manusia Indonesia yang dicita-citakan menjadi terombang-ambing dan tidak kunjung mantap disebabkan kurang kokohnya ideologi Pancasila dalam pendidikan nasional.
Pada Garis-2 Besar Haluan Negara tahun 1973, memang telah dicanangkan agar pembentukan mental dan moral Pancasila dimasukkan kedalam kurikulum dan menjadi bagian integral dari pendidikan nasional.
Dengan amanat konstitusi ini, karena GBHN adalah produk legislatif oleh MPR, maka dengan sertamerta dimulailah masa kejayaan Pendidikan Pancasila dalam sistem kurikulum kita.
Apalagi dengan datangnya era Ekaprasetya Pancakarsa pada tahun 1978 atau yang terkenal dengan P-4, yakni Pedoman Penghayatan dan Pengmalan Pancasila, dan dibentuknya BP-7, sebuah lembaga negara yang mengelola penataran P-4 tadi. Kurikulum 1975, yang telah mencantumkan Pancasila seperti telah diawali pada kurikulum 1968, segera disesuaikan dengan konsep Ekaprasetya Pancakarsa yang dicanangkan dalam tahun 1978 tersebut. Perombakan penting segera terjadi terhadap Pendidikan Moral Pancasila. Mata pelajaran itu menjadi lebih kokoh berdiri sendiri dalam struktur program kuriulum dalam semua jenjang sekolah.
Bagi para penulis buku bahan ajar (textbook) serta para penerbit, PMP ini merupakan ”komoditi” baru yang cukup menggairahkan. Puluhan buku dan penerbit membanjiri dunia persekolahan kita dengan produk-produk PMP.
Pancasila, yang hakekatnya merupakan falsafah ideologis sebagai ”way of life” yang digali oleh Bung Karno dan diucapkan pada tanggal 1 Juni 1945, telah dirinci menjadi 36 butir ayat-2 yang kemudian menjadi hafalan anak-2 kita dalam pelajaran PMP.
Depdikbud pada waktu itu telah luar biasa disibukkannya dalam manajemen PMP ini. Mulai dari seleksi buku pelajaran yang berduyun-duyun mendatanginya serta para pengarang dan penerbit, penataran guru PMP di seluruh pelosok tanah air serta mencetak bahan2nya, simulasi untuk menemukan metodologi yang pas, teknik evaluasi dan lain-2 lagi. Entah berapa banyak uang yang terpakai untuk ini. disamping penataran P-4 sendiri oleh BP-7 yang diberlakukan untuk seluruh birokrasi, aparatur negara, politisi dan lapisan masyarakat tertentu seperti perkumpulan-2 profesi dan sebagainya.
Pancasila yang seharusnya berada pada domein nilai dan sikap menurut taksonomi Bloom, akhirnya hanya menjadi aspek kognitif dalam teori pendidikan dan bukan pada aspek behavioural, yakni sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila diajarkan sebagai ”pengetahuan”., yang seharusnya dicontohkan sebagai ”keteladanan” tentang perilaku, sikap dan nilai-2 kehidupan sebagai mahluk Tuhan Y.M.E. Tetapi siapa yang akan menjadi teladan, kalau perilaku tokoh elite yang harus di teladani hanya seperti sekarang ini? Apakah Pancasila hanya akan menjadi rhetorika belaka, karena sulitnya dijumpai keteladanan dalam perilaku kita? Kemana akan mencari tokoh panutan bahkan setelah melewati era P-4 dan PMP ?
Dalam kurikulum 1994, Pendidikan Pancasila mengalami perubahan.. Karena terlalu ”dipaksakan” untuk berdiri sendiri dalam kurikulum 1975 maka Pendidikan Moral Pancasila tadi direduksi posisinya.
Dari mata pelajaran yang berdiri sendiri, Pendidikan Pancasila lalu digabung dalam mata pelajaran PPKn, singkatan dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Pendidikan Pancasila diintegrasikan sebagai pengetahuan untuk mempertebal semangat dan jiwa kebangsaan melalui ilmu kewarganegaraan.
Perkembangan terkini, Pendidikan Pancasila yang sudah mengalami gelombang pasang surut dalam sistem kurikulum kita, bahkan ”lenyap” dari ”curriculum exposure” . Datangnya era reformasi pada tahun 1998 disusul dengan dibubarkannya BP-7 dan P-4, mempercepat hilangnya Pendidikan Pancasila dari struktur kurikulum
Kurikulum 2004 yang disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi atau K.B.K telah menghilangkan kata ”Pancasila” dari PPKn, tinggal menjadi PKn atau Pendidikan Kewarganegaraan, tanpa menyebut Pancasila lagi. Begitu pula dengan kurikulum KTSP (singkatan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) tahun 2006, yang dalam struktur porgramnya, tidak ada lagi kata Pancasila.
Kalau dalam kurikulum 1994 dahulu Pancasila masih dapat ”kapling” dalam mata pelajaran PPKn, maka dalam kurikulum KBK tahun 2004 yang kemudian disusul dengan KTSP yang baru dilansir tahun 2006 yang lalu, Pendidikan Pancasila tidak lagi disebut Alasan modifikasi ini, barangkali, untuk menjadi warganegara yang baik cukup dengan mengajarkan PKn, dimana Pancasila sudah implisit ada disitu.
Kita belum tahu bagaimana para guru yang akan berkarya dalam membuat ”kurikulum individual” yakni KTSP ini nanti akan menyentuh Pancasila dalam proses pembelajaran dan ”transfer of knowledge” kepada murid-muridnya.
Di tengah-tengah carut marutnya kondisi kebangsaan dan moralitas kita saat ini, kita lihat saja bagaimana falsafah Pancasila akan ditanamkannya dalam sistem pembentukan manusia Indonesia, sebagai fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam pembentukan citizenship, bukan sekedar menjadi orang Indonesia
Para pembuat dan penentu kebijakan dalam dunia pendidikan itulah yang harus lebih mengerti duduk perkaranya. Kita yakin bahwa pendidikan nasional adalah mekanisme pemersatu bangsa yang paling ampuh untuk melestarikan NKRI ini.
Sebagai penutup tulisan singkat ini, dalam kaitan dengan peranan pendidikan bagi semangat patriotisme, marilah kita baca tulisan John Dewey, (1859-1952), seorang filosoof Amerika dalam bukunya ”DEMOCRACY AND EDUCATION, an intro- duction of the filosophy of education” 1915, yang mengambil contoh bagaimana leadership dari pemimpin-2 Prusia telah membentuk warganegara Jerman yang begitu tangguh nasionalismenya, “…under the influence of German thought in particular, education became a civic function, and the civic function was identified with the realization of the ideal of the nation state…… To form the” citizen” not the “man”, became the aim of education…”
Pendidikan nasional harus mempunyai civic mission, untuk membentuk seorang nasionalis yang patriotik bagi tanah airnya.
Jakarta 14 Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar