Selasa, 19 Mei 2009

Cita-cita Pendidikan bagi Semua Anak Bangsa

Pendidikan Indonesia menurut sejarah dirintis oleh Ki Hadjar Dewantara dengan berdirinya sekolah Taman Siswa pada tahun 1922. Sehingga sebenarnya pendidikan kita telah berusia lebih dari 80 tahun. Walaupun pada tahun-tahun sebelumnya, Belanda dengan politik etisnya telah menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Namun, pendidikan yang diterapkan adalah pendidikan kolonial, bukan pendidikan Indonesia.

Perjalanan pendidikan Indonesia mengalami pasang surut seiring kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah kemerdekaan Indonesia pun, wajah pendidikan kita belum menampakan harapan besar sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 (mencerdaskan kehidupan bangsa) dan pasal 31. namun, usaha untuk memajukan kehidupan akademik Indonesia sudah dirintis dengan berdirinya perguruan tinggi negeri di kota-kota besar mulai tahun 1950-an.

Selama orde baru, pendidikan kita mengalami perkembangan menarik. Hal tersebut karena pendidikan nasional diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan pendirian sekolah-sekolah baru yang tersebar di seluruh indonesia. Dan selama itu pula, hak pendidikan bagi rakyat sesuai dengan UUD 1945 dirasakan tidak hanya oleh masyarakat perkotaan, tapi juga masyarakat daerah. Fenomena “booming” lembaga pendidikan di daerah-daerah di satu sisi memberikan kesempatan pendidikan yang terjangkau bagi rakyat Indonesia. Namun di sisi lain, esensi dan nilai luhur dari pendidikan itu sendiri cenderung diabaikan.

Yaitu tugas utama pendidikan bergeser dari kewajiban membentuk seorang individu manusia, menjadi kewajiban membentuk seorang warga negara. Sehingga individu yang terbentuk oleh pola pendidikan adalah individu yang kehilangan makna dirinya sebagai seorang manusia merdeka. Atau dengan kata lain, individu yang tunduk pada kehendak penyelenggara pendidikan dalam hal ini pemerintah (sentralisme). Hal yang menurut Ignas Kleden disebutkan pula, adanya pergeseran dari cita-cita kemajuan seluruh umat manusia menjadi kemajuan negara, sedangkan fungsi kebudayaan dan pendidikan digeser menjadi fungsi politik atau lebih khusus lagi oleh civic function.

Hal yang secara kuantitas (statistik), pendidikan orde baru menghasilkan kenaikan signifikan jumlah manusia didik seperti ditunjukan tabel di bawah ini (tabel 1):
Selected Indicators 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
School Enrolment (%)
Population aged 7-12 years 94.06 93.9 94.43 95.37 95.07 95.34 95.5
Population aged 13-15 years 72.38 73.2 75.84 77.51 77.31 79.04 78.7
Population aged 16-18 years 45.31 44.6 47.59 48.64 49.52 51.14 49.1
sumber: BPS dengan pengolahan

Sedangkan angka melanjutkan ke perguruan tinggi tahun 2001/2002 “hanya” mencapai 48.13% dari jumlah lulusan Sekolah Menegah tahun itu (Statistik Depdiknas). Dengan asumsi usia 16-18 tahun adalah usia pra-PT dan prosentase lulusan tahun 2001 tidak jauh berbeda, maka prosentase yang melanjutkan ke PT sebesar 23.63% dari populasi Indonesia usia 16-18 tahun. Angka yang sangat kecil untuk kaum intelektual melihat besarnya jumlah penduduk indonesia (dari berbagai sumber yang didapat, hanya sekitar 2% dari penduduk Indonesia).
***

Angin reformasi yang berhembus dalam kehidupan bangsa tahun 1998 membawa ekses bagi dunia pendidikan. Kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang mampu menjawab tantangan masa depan diwujudkan dengan amanat pendidikan dalam UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (HAM) dan UU No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Bahkan pendidikan semakin terejawantahkan dengan hadirnya UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Terlepas dari polemik agama yang menyertai pembuatannya, UU yang menggantikan UU No 2 Tahun 1989 ini memberikan harapan baru dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, bukan dalam rangka semata-mata meredam keinginan masyarakat.

Pendidikan sebagai variabel yang tidak pernah bisa terlepas dari kondisi sosial politik bangsa akhirnya ikut menjadi korban. Dimulai dengan anggaran pendidikan yang menurut UU tersebut sebesar 20% dari anggaran pemerintah, tidak pernah mencapai separuh dari alokasi tersebut. Di masa kekinian, Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun 2004 seakan menjadi cerminan wajah pendidikan nasional. Fenomena yang menggambarkan bahwa pola pendidikan indonesia tidak jauh berubah dengan berlakunya UU tersebut. Dan UAN 2004 adalah sebuah titik kulminasi dari permasalahan pendidikan nasional selama ini.

Pendidikan nasional yang selama orde baru begitu sentralis dalam UU Sisdiknas mulai dieliminasi dengan adanya ketentuan bahwa pendidikan nasional diarahkan ke dalam pendidikan berbasis masyarakat, yaitu penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat (Pasal 1 ayat 16). Oleh karenanya, masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat (Pasal 55 ayat 1).

Sedangkan UAN yang adalah bentuk pengembangan kurikulum pendidikan, dilaksanakan terpusat (Jakarta centris) tanpa adanya partisipasi dari masyarakat dan mengabaikan kekhasan, lingkungan sosial-budaya serta potensi daerah. Dalam persepsi kurikulum sendiri, UAN juga menyalahi ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas yang menyatakan: kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Disini terlihat bahwa peran satuan pendidikan (sekolah) hanya sebatas penyelenggara UAN.

Akhirnya, cita-cita pendidikan yang adil bagi seluruh rakyat menjadi tergadaikan. Karena keadaan pendidikan di Indonesia berbeda di masing-masing daerah. Mustahil bila kemudian pemerintah menyamaratakan kemampuan pelajar dengan UAN yang terpusat seperti dulu lagi.

Perbedaan itu sah-sah saja sepanjang sesuai dengan nilai luhur pendidikan yang membebaskan manusia menuju kemerdekaannya. Dan bila demikian yang menjadi nilai luhurnya, maka UAN (dan pola pendidikan nasional keseluruhan) sendiri tidak lain telah melanggar prinsip-prinsip ilmu kependidikan. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (pskomotorik) dan sikap (afektif). Sedangkan UAN (dan pendidikan nasional selama ini) hanya menilai satu aspek kemampuan saja yaitu kognitiif. Kedua aspek yang lain tidak dujikan sebagai penentu kelulusan. Dengan demikian UAN telah melanggar prinsip-prinsip kependidikan. Kenyataannya, penentu kelulusan bukan ketiga aspek tersebut yang berada di wilayah sekolah (satuan pendidikan), melainkan pemerintah dengan nilai rata-rata batas bawahnya (4.01).

Kontroversi UAN tersebut, kemudian ditanggapi secara reaktif oleh pemerintah dengan kebijakan konversi nilai UAN baru-baru ini. Dengan dalih bahwa konversi ini bertujuan mewujudkan keadilan bagi peserta UAN, yang terjadi hanya pemandangan “katrol-mengkatrol” nilai yang lazim dalam dunia pendidikan kita. Pada prinsipnya, konversi ini lebih kearah mengangkat nilai di bawah batas kelulusan. Sedangkan peserta yang mendapatkan nilai tinggi harus dikurangi atas nama keadilan tadi. Tentunya, angka kelulusan menjadi naik dan kekhawatiran dampak penurunan angka kelulusan terhadap kenaikan nilai kelulusan dari 3.01 menjadi 4.01 tidak terbukti.

Mengenai biaya pendidikan sesuai dengan amanat pasal 49 UU Sisdiknas, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD di masa sekarang seperti mimpi indah di siang hari. Dengan dalih bahwa setidaknya sudah ada itikad untuk menaikan anggaran pendidikan, ternyata itikad saja tidak cukup. Rakyat membutuhkan peran nyata pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang adil dan merata di seluruh Indonesia. Lihatlah kondisi sekolah-sekolah dasar di pelosok tanah air yang membentang dari sabang sampai merauke, sudah layakah pendidikan bagi rakyat? Jangankan di pelosok nan jauh di timur sana, di pinggiran kota-kota besar pun keadaan kehidupan akademisnya sungguh memprihatinkan. Dan sekali lagi pledoi yang digunakan, bahwa dengan UU Sisdiknas maka masyarakat juga berhak menyelenggerakan pendidikan. Kalau seperti itu, lalu buat apa rakyat repot-repot memilih pemimpin selama ini.

Maka jangan hanya salahkan sekolah bila kemudian menterjemahkan hak penyelenggaraan tersebut dengan melibatkan masyarakat (dalam hal ini orang tua siswa) dengan berbagai iuran yang super wah. Menurut Amich Alhumami (Kompas, 15 Juni 2004), data dari Balitbang Depdiknas menyebutkan bahwa biaya pendidikan yang dibayarkan orang tua per tahun (dalam juta) untuk SD negeri 4,867 dan 6,178 untuk swasta, Madrasah Ibtidaiyah (MI) negeri 5,481 dan 4,130 untuk swasta, SMP negeri 5,624 dan 5,774 untuk swasta, Madrasah Tsanawiyah negeri 4,749 dan 4,269 untuk swasta, SMU negeri 7,054 dan 6,842 untuk swasta, serta untuk Madrasah Aliyah negeri 6,091 dan untuk swasta 5,967.

Angka-angka diatas adalah angka rata-rata dari seluruh daerah di Inonesia. Tentunya akan sangat jauh berbeda dengan daerah perkotaan, terutama di Jawa. Bagi yang berminat masuk pada sebuah sekolah swasta bonafide di Jakarta misalnya, orang tua harus menyiapkan puluhan juta rupiah untuk. Atau bahkan sebuah SD negeri di Bandung menetapkan harga jutaan dalam rangka penerimaan siswa barunya. Itu semua belum termasuk dengan biaya per bulan dan tetek bengek lainnya. Mungkin hanya SMPN 56 Jakarta yang membebankan biaya masuk sekolah terkecil se-indonesia. Walaupun sarat kontroversi keberadaannya, pengelola SMPN 56 berani “banting harga” uang masuk sampai hanya 1000 perak (Koran Tempo, 15 Juni 2004).

Bila dibandingkan dengan rata-rata biaya pendidikan diatas dengan kemampuan ekonomi rakyat Indonesia, maka kita akan dapatkan pemandangan yang kontras. Indikator kemampuan ekonomi rakyat bisa dilihat dengan besarnya pendapatan perkapita indonesia seperti di bawah ini (tabel 2) :
Deskripsi 1998 1999 2000 2001
Pendapatan Perkapita 4.222.062,1 4.649.342,2 5.652.731,5 6.351.912,1
sumber: BPS dengan pengolahan
Maka yang sangat terlihat adalah kesenjangan antara biaya pendidikan dengan kemampuan rakyat kebanyakan. Walaupun tahun survey keduanya tidak sama, dengan kondisi rakyat yang tidak jauh berbeda dan pengangguran diatas 10%, kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan sangat terbatas. Di sisi lain, program wajib belajar (Wajar) 9 tahun dan penanaman doktrin “malu jika tidak sekolah”, pemerintah masih mengalokasikan 6,6% APBN 2004 untuk pendidikan. Jika berandai-andai alokasi 20% terpenuhi, memungkinkan masyarakat menikmati Wajar 9 tahun dengan gratis di seluruh Indonesia (Republika, 28 Mei 2004).

Dengan kondisi diatas, wajarlah bila Human Development Index (HDI) Indonesia hanya di peringkat 110 dunia (Prof. Zuhal), dibawah Malaysia (59), Thailand (70), Filipina (77) dan Vietnam (109). Sebab yang paling kentara adalah masalah pemerataan pendidikan bak mimpi di negeri nan kaya ini. Padahal dari tabel 1 dan 2 bisa kita simpulkan bahwa masyarakat masih punya semangat tinggi (kemandirian) dalam dunia pendidikan bahkan dalam kondisi krisis pun (persis seperti halnya pemerintah yang “tetap jalan” selama kampanye pemilu 2004). Sehingga sekarang bola panas kompleksitas pendidikan sebenarnya terletak di pengambil kebijakan (baca: pemerintah) itu sendiri. Yang menurut Mas Achmad Santosa (Kompas, 17 Juni 2004), masyarakat punya hak untuk melakukan perlawanan terhadapnya. Karena tanpa perjuangan, masyarakat tidak akan pernah menjadi subyek kehidupan (pendidikan).

Bentuk perlawanan dalam negara hukum seperti Indonesia menurutnya bisa dalam bentuk ; pertama, Class action merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak bagi satu atau sejumlah orang (tidak sangat banyak) untuk mengajukan gugatan dalam memperjuangkan kepentingan sendiri yang sama dengan kepentingani ratusan bahkan jutaan orang. UAN adalah persoalan yang klop dengan konteks ini. Kedua, legal action (Hak Gugat Organisasi) yaitu gugatan yang dilakukan oleh organisasi badan hukum yang tidak terkena langsung kerugian, namun memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak yang dirugikan. Legal action bisa dilakukan oleh PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) atau organisasi yang terkait dengan masalah pendidikan diatas. Masifitas gerakan dengan sendirinya akan terbentuk dengan elaborasi antara kedua bentuk diatas yang mencitakan terciptanya nilai-nilai luhur pendidikan bangsa.

Akhirnya, tidak pantas bila Ibu pertiwi yang melahirkan kita menangis karena putra-putranya menjadi orang-orang yang tak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tak mendengarkan kebaikan walaupun memiliki telinga, tak membela kebenaran walaupun memiliki hati, tak pernah terharu dan tak bersemangat (Mr “Toto-Chan“ Kuroyanagi). Karena kita telah merangkai cita mulia pendidikan, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU Sisdiknas). Atau dalam slogan legendarisnya Ki Hadjar Dewantara, Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri Handayani. Semoga.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar